Patrolihukum.net // Lubuk Linggau, Sumatera Selatan | 30 Mei 2025 – Ketika pemerintah pusat hingga daerah gencar mengumandangkan komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, potret memilukan justru hadir dari jantung Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Dua sekolah dasar negeri—SD Negeri 28 dan SD Negeri 29—menghadirkan wajah muram pendidikan dasar yang terlupakan. Bangunan rapuh, lingkungan tak terurus, hingga minimnya pengawasan menciptakan situasi yang tak hanya memprihatinkan, tetapi juga mengkhawatirkan.
Sekilas, dari luar, bangunan kedua sekolah ini tampak seperti fasilitas umum yang telah lama ditinggalkan. Cat dinding mengelupas seperti kulit tua yang tak terurus, jendela-jendela lapuk, dan pagar sekolah yang nyaris roboh. Namun ironi dimulai saat pagi menjelang. Anak-anak berseragam lusuh tetap datang dengan semangat, berjalan melewati semak-semak tinggi yang menyelimuti lingkungan sekolah, lalu duduk di ruang kelas yang tak layak disebut ruang belajar.

Di dalam kelas, kondisi jauh dari kata aman. Plafon-plafon sekolah tampak menggantung di banyak titik—salah satu bahkan sudah ambrol beberapa minggu lalu. Para guru terpaksa mengatur posisi duduk murid agar tidak berada langsung di bawah titik-titik rawan. Dalam ruang yang seharusnya menumbuhkan rasa ingin tahu dan kenyamanan, justru ketakutan yang mendominasi.
“Kalau hujan deras, kami khawatir atapnya roboh. Anak-anak harus kami suruh pindah ke ruang sebelah,” ujar salah satu guru yang enggan disebutkan namanya, saat ditemui oleh tim liputan. Ia menyebut kondisi ini sudah berlangsung lama, namun belum ada perbaikan berarti dari pihak terkait.
Lingkungan luar pun tak kalah buruk. Semak-semak liar yang menjulang tinggi menciptakan kesan sekolah berada di tengah hutan kecil. Banyak orang tua khawatir anak-anak mereka menjadi korban gigitan ular atau hewan liar lainnya. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa aspek keselamatan dan kesehatan lingkungan sekolah telah lama diabaikan.
Tim liputan mencoba mengonfirmasi hal ini ke pihak sekolah, namun kepala sekolah SD Negeri 28 dan 29 tidak berada di tempat saat didatangi. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan Kota Lubuk Linggau.
Pertanyaan pun menyeruak: Di mana tanggung jawab pemerintah daerah? Ke mana larinya dana alokasi pendidikan yang setiap tahun digelontorkan hingga triliunan rupiah oleh pemerintah pusat? Mengapa kondisi darurat ini seolah tak terlihat oleh para pemangku kebijakan?
Alih-alih menjawab, pihak-pihak terkait justru terkesan bungkam. Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur dan proyek mercusuar lainnya, dua sekolah dasar ini tampak luput dari perhatian. Padahal, fasilitas pendidikan dasar adalah pondasi awal kemajuan bangsa—tempat di mana generasi penerus seharusnya mendapat ruang terbaik untuk tumbuh dan belajar.
Situasi SD Negeri 28 dan 29 tak bisa lagi disebut sebagai kasus biasa. Ini adalah simbol nyata kegagalan sistemik dalam menyediakan pendidikan yang aman dan layak. Pemerintah Kota Lubuk Linggau serta Dinas Pendidikan harus segera turun tangan. Bukan dengan retorika atau janji manis, tapi langkah nyata yang terukur, cepat, dan transparan.
“Kalau tidak ada perhatian segera, kami khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini soal keselamatan anak-anak kami,” ungkap salah satu wali murid yang setiap hari mengantar anaknya ke SD Negeri 29.
Kondisi ini adalah alarm keras bahwa pendidikan di daerah tak boleh terus-menerus dianaktirikan. Pendidikan bukan sekadar kurikulum dan pelatihan guru, tetapi juga menyangkut ruang fisik yang sehat, aman, dan layak untuk proses belajar mengajar.
Masyarakat Lubuk Linggau kini menunggu, apakah pemerintah akan bertindak cepat sebelum ada korban? Ataukah baru akan bergerak setelah terjadi tragedi yang seharusnya bisa dicegah sejak awal?
(Tim Peliputan Nasional Patrolihukum.net/**)