Patrolihukum.net // Jakarta, 8 Agustus 2025 — Duka mendalam sekaligus kemarahan membara tengah menggelora di hati seorang prajurit TNI, Sersan Mayor Christian Namo. Ia bukan hanya kehilangan anak tercinta, namun juga kepercayaan terhadap sistem yang seharusnya melindungi. Putranya, Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23), tewas mengenaskan setelah diduga mengalami penganiayaan berat oleh rekan dan seniornya sendiri di lingkungan TNI.
Peristiwa tragis ini tidak hanya menyayat hati keluarga, tetapi juga membuka luka besar tentang sistem pembinaan, keamanan internal, dan akuntabilitas di tubuh militer Indonesia. Lucky adalah anggota TNI muda yang baru saja menyelesaikan pendidikan militernya dan dilantik pada Juni 2025 di Rindam IX/Udayana, Singaraja, Bali.

Hanya berselang satu bulan setelah mulai bertugas bersama Batalyon Teritorial Pembangunan TP 834 di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, nyawa Lucky melayang secara tragis. Ia dirawat dalam kondisi kritis di ICU RSUD Aeramo sejak 2 Agustus 2025 akibat luka-luka parah yang dideritanya. Namun takdir berkata lain, pada 6 Agustus 2025, Lucky dinyatakan meninggal dunia.
Ayah Korban Meluapkan Amarah: “Hukum Mati atau Bubarkan Negara Ini!”
Tangisan duka berubah menjadi teriakan amarah. Dalam pernyataan kerasnya, Christian Namo menyerukan hukuman mati bagi pelaku dan mempertanyakan eksistensi negara yang gagal melindungi warganya, terlebih seorang prajurit.
“Saya tentara merah putih, jiwa saya merah putih. Tapi sekarang saya bertanya, masih layakkah merah putih dikibarkan jika prajuritnya saja dibunuh oleh kawannya sendiri?!” tegasnya.
Kemarahan Christian semakin membara saat ia menyatakan siap mengambil tindakan di luar sistem hukum jika negara tidak bergerak.
“Kalau negara gagal melindungi dan hukum tidak mampu menegakkan keadilan, maka biar kami, para prajurit setia, yang turun tangan! Kami tahu cara mencari pelaku, kami tahu cara mengeksekusi keadilan!” serunya.
Pernyataan ini sontak menjadi peringatan keras terhadap negara. Ketika seorang prajurit senior kehilangan anak karena ulah internal dan menyatakan siap mengambil alih peran hukum, maka sesungguhnya kepercayaan terhadap sistem sudah berada di titik nadir.
Kematian Lucky: Simbol Kegagalan Sistemik?
Kematian Lucky bukan sekadar kasus penganiayaan. Ini adalah gambaran telanjang dari lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan di tubuh militer. Masyarakat pun bertanya-tanya, jika anak seorang tentara saja tidak aman di lingkungan yang seharusnya terstruktur dan disiplin, bagaimana nasib warga sipil?
Para pengamat hukum dan militer menilai peristiwa ini sebagai pukulan telak bagi TNI. Harus ada transparansi dalam proses penyelidikan dan ketegasan dalam menindak para pelaku, siapa pun mereka.
“Jika ini tidak diselesaikan dengan tuntas, maka bukan hanya keluarga Lucky yang kehilangan, melainkan seluruh rakyat kehilangan rasa percaya terhadap institusi negara,” ujar salah satu pemerhati militer.
Menanti Langkah Nyata Pemerintah dan Panglima TNI
Masyarakat kini menunggu reaksi cepat dan tegas dari Panglima TNI dan Presiden RI. Tindakan yang setengah hati atau terkesan melindungi pelaku hanya akan memperbesar api kemarahan publik dan memperdalam luka keluarga korban.
Peristiwa ini harus dijadikan momentum perbaikan menyeluruh, tidak hanya dalam penegakan hukum internal militer, tetapi juga dalam pola pembinaan prajurit muda agar tak ada lagi “Lucky-Lucky” lain yang menjadi korban dari sistem yang semestinya mendidik, bukan membunuh. (Edi D/PRIMA/**)
















