Probolinggo — Kota Probolinggo kembali menjadi sorotan.
Disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bukan hanya menimbulkan polemik administratif, tetapi juga mengguncang fondasi moral dan keagamaan di kota yang dikenal sebagai salah satu basis santri di tapal kuda Jawa Timur ini.
Di balik alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terselip pertanyaan mendasar: apakah pembangunan ekonomi pantas dilakukan dengan menggadaikan moral masyarakat?

Legalisasi yang Menggoyahkan Nurani Publik
Ketika Perda ini membuka ruang bagi tempat hiburan malam — rumah karaoke, bar, hingga tempat yang kerap dikaitkan dengan peredaran minuman keras — maka publik berhak bertanya: di manakah batas antara strategi fiskal dan degradasi moral?
Mengutip sikap tegas MUI Kota Probolinggo, Perda ini berpotensi menjadi “pintu masuk kemaksiatan yang dilegalkan negara”. MUI tidak berbicara soal pendapatan atau ekonomi, melainkan tentang benteng akhlak masyarakat yang kian rapuh jika kebijakan publik tak berpijak pada nilai etis dan religius.
Tak jauh berbeda, GP Ansor Kota Probolinggo juga menyoroti proses politik di balik disahkannya Perda tersebut. Minimnya partisipasi publik dan absennya pelibatan stakeholder menjadi sinyal bahwa demokrasi lokal sedang kehilangan arah.
Rakyat tak diajak bicara, tetapi dampaknya rakyat pula yang harus menanggung.
Ketika Pendapatan Mengaburkan Prinsip
Pendapatan daerah memang penting, tetapi cara mencapainya menentukan arah moral pemerintahan.
Kebijakan fiskal bukan sekadar soal angka dalam APBD, melainkan cerminan nilai yang dianut oleh para pengambil kebijakan.
Jika sumber pendapatan diperoleh dari sektor yang membuka peluang kemaksiatan, maka keberhasilan finansial itu akan kehilangan makna moral.
Pertanyaan yang harus dijawab DPRD dan Pemerintah Kota Probolinggo bukan lagi “berapa banyak pajak yang bisa dikumpulkan,” melainkan “apa dampak sosial dan spiritual dari uang pajak itu?”
Apakah kita sedang membangun peradaban atau justru meruntuhkannya secara perlahan di atas fondasi ekonomi semu?
Demokrasi Bukan Formalitas
Sikap tertutup DPRD dalam proses pembentukan Perda ini menimbulkan tanda tanya serius tentang komitmen transparansi dan partisipasi publik.
Demokrasi tidak boleh berhenti di ruang sidang.
Demokrasi hidup ketika keputusan publik lahir dari partisipasi rakyat, bukan dari kesepakatan terbatas antara elit politik dan birokrasi.
Di sinilah pentingnya mengembalikan esensi “wakil rakyat” pada makna sejatinya: bukan sekadar perpanjangan tangan partai, tapi representasi nurani masyarakat.
Kebijakan publik tanpa legitimasi moral hanya akan menjadi regulasi yang kehilangan ruhnya.
Kota Santri yang Tak Boleh Kehilangan Jati Diri
Probolinggo selama ini dikenal sebagai kota religius, kota yang dihidupi oleh nilai-nilai keislaman, pesantren, dan kultur santri yang kuat.
Maka, ketika Perda yang berpotensi membuka ruang bagi praktik amoral disahkan tanpa resistensi yang memadai, wajar jika muncul kekhawatiran bahwa kota ini mulai kehilangan identitas moralnya.
Membangun daerah seharusnya tidak hanya diukur dari besaran PAD, tetapi juga dari ketangguhan moral dan karakter masyarakatnya.
Tanpa fondasi moral, pembangunan hanya akan menghasilkan kota yang megah di luar tapi rapuh di dalam.
Seruan Redaksi Patrolihukum.net dan Investigasi88.com: Revisi dan Audit Moralitas Kebijakan
Redaksi menilai bahwa Perda Nomor 4 Tahun 2023 perlu segera dikaji ulang dan direvisi.
Bukan hanya karena tekanan publik atau penolakan MUI dan Ansor, tapi karena substansi moral di balik kebijakan publik harus dikembalikan pada jalurnya.
Pemerintah Kota dan DPRD Probolinggo perlu membuka ruang dialog terbuka dengan ormas keagamaan, akademisi, dan masyarakat sipil.
Keterlibatan publik bukan sekadar formalitas, melainkan jantung dari pemerintahan yang beretika.
Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa demi mengejar angka pajak, pemerintah daerah tega menukar moralitas dengan pendapatan.
Penutup
Kota Probolinggo kini berada di persimpangan jalan antara etika dan ekonomi, antara pembangunan dan kemerosotan moral.
Pilihan ada di tangan para pemimpinnya — apakah ingin diingat sebagai perintis kemajuan yang bermartabat, atau sebagai penguasa yang menggadaikan nilai demi keuntungan sesaat.
Satu hal pasti: pembangunan tanpa moral adalah kehancuran yang ditunda.
Redaksi Patrolihukum.net
(Edi D/Red)