Patrolihukum.net // Kuningan – Tindakan dugaan arogan yang ditunjukkan oleh Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang bernama Nana, menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Forum Wartawan Jurnalis Indonesia (FWJI) Kuningan yang menilai sikap tersebut sebagai bentuk penghalangan terhadap kebebasan pers yang dijamin undang-undang.
Insiden tersebut terjadi pada Sabtu, 19 April 2025, saat sejumlah wartawan hendak melakukan tugas jurnalistik dengan melakukan konfirmasi dugaan praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) di beberapa sekolah di wilayah Kecamatan Pancalang, termasuk di SD Negeri Kahiyangan. Namun saat tiba di lokasi, mereka justru disambut dengan sikap tidak menyenangkan dari Nana, yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SD Negeri Silebu.

Menurut penuturan Ketua FWJI Kuningan, Irwan Fauzi, atau yang akrab disapa Kang Ozi, Nana secara tiba-tiba muncul di sekolah dan langsung menghardik wartawan dengan nada tinggi dan kata-kata kasar. Padahal, para jurnalis tersebut menjalankan tugas yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Ketika wartawan datang untuk mengonfirmasi informasi penting terkait penjualan LKS, mereka justru diintimidasi dan diteriaki oleh Ketua K3S. Ini adalah pelanggaran serius terhadap kebebasan pers,” ujar Kang Ozi.
Ia menambahkan bahwa sebagai seorang pendidik, Nana seharusnya menunjukkan sikap yang mencerminkan intelektualitas dan kedewasaan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Tindakan Nana dinilai jauh dari etika seorang kepala sekolah dan bahkan menyerupai tindakan premanisme.
“Ada dugaan kuat bahwa Nana datang karena dihubungi oleh pihak sekolah yang didatangi wartawan. Ia datang dengan emosi dan tanpa klarifikasi, langsung marah-marah. Ini mengindikasikan adanya upaya untuk menutupi suatu praktik yang patut diduga melanggar peraturan,” ungkap Kang Ozi.
FWJI Kuningan juga menyoroti bahwa dugaan penjualan LKS di sekolah-sekolah merupakan pelanggaran terhadap sejumlah regulasi pemerintah. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 18 Ayat 1a, yang secara tegas melarang pendidik dan tenaga kependidikan menjual buku ajar, LKS, maupun seragam kepada siswa.
Selain itu, larangan tersebut juga ditegaskan dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 11, serta Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan Pasal 63 Ayat 1, yang semuanya melarang satuan pendidikan dan penerbit menjual buku secara langsung kepada siswa maupun sekolah.
“Dengan aturan yang jelas seperti itu, namun praktiknya masih terjadi secara terang-terangan di lapangan. Ini menunjukkan adanya pembiaran, atau lebih jauh lagi, kemungkinan ada keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya menegakkan aturan,” lanjut Kang Ozi.
FWJI menilai bahwa tindakan Nana yang menghalangi tugas jurnalistik bukan hanya mencoreng dunia pendidikan, tetapi juga menciderai prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan informasi. Oleh karena itu, pihaknya mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan untuk segera melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan Nana, baik sebagai Kepala Sekolah maupun Ketua K3S.
“Kami meminta agar Dinas Pendidikan jangan tutup mata. Bila dibiarkan, tindakan semacam ini bisa menjadi preseden buruk di dunia pendidikan. Tugas kami sebagai wartawan adalah kontrol sosial, dan tidak boleh dihalang-halangi,” tegasnya.
Sebagai penutup, FWJI Kuningan juga mengimbau seluruh jurnalis untuk tidak takut menghadapi intimidasi maupun tekanan dalam menjalankan tugas jurnalistik, selama tetap berpegang pada kode etik dan aturan yang berlaku.
“Kami akan terus mengawal kasus ini, dan jika perlu, kami akan menempuh jalur hukum agar ada efek jera terhadap pelaku-pelaku yang mencoba menghalangi tugas mulia jurnalis,” pungkas Kang Ozi.
(Tim/Red/**)













