Patrolihukum.net // Jakarta – Dukungan terhadap sikap kritis Dewan Pers atas terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 terus mengalir. Salah satunya datang dari Ikatan Media Online (IMO) Indonesia yang menyatakan keprihatinannya atas kebijakan sepihak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam menerbitkan aturan yang dinilai berpotensi mengekang kebebasan pers.
Ketua Umum IMO-Indonesia, Yakub F. Ismail, menyatakan sikap tegas organisasi yang dipimpinnya dalam mendukung Dewan Pers yang secara terbuka menyatakan penyesalan terhadap lahirnya Perpol tersebut.

“Jelas ini suatu keputusan yang patut dipertanyakan. Ada apa? Mengapa tidak melibatkan pemangku kepentingan utama dalam dunia pers seperti Dewan Pers, organisasi jurnalis, maupun perusahaan media?” ujar Yakub dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (4/4/2025).
Menurut Yakub, kemerdekaan pers adalah salah satu elemen paling penting dalam sistem demokrasi yang sehat. Ia menyayangkan langkah institusi kepolisian yang membuat regulasi menyangkut kegiatan jurnalistik tanpa pelibatan stakeholder utama.
“Kalau ruang pers dibatasi semacam ini, maka ini alarm serius yang harus kita sikapi dengan penuh kehati-hatian. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk dalam praktik kebebasan berekspresi di negeri ini,” tegas Yakub.
Ia menambahkan, IMO-Indonesia sependapat dengan Dewan Pers yang menilai Perpol 3 Tahun 2025 berpotensi membungkam ruang kebebasan pers dan ekspresi. Terbitnya peraturan tersebut disebutnya sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, secara resmi menyatakan kekecewaannya atas terbitnya Perpol tentang Pengawasan Fungsional terhadap Orang Asing yang salah satu pasalnya mengatur tentang penerbitan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) bagi warga negara asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian di wilayah Indonesia.
Ninik menegaskan bahwa dalam proses penyusunan aturan tersebut, Dewan Pers sama sekali tidak dilibatkan. Hal ini menurutnya bertentangan dengan prinsip partisipatif dalam penyusunan kebijakan publik, terlebih aturan tersebut menyentuh langsung ranah kerja-kerja jurnalistik.
“Menyesalkan penerbitan Perpol 3/2025 yang tidak partisipatif dengan tidak melibatkan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), organisasi jurnalis, dan perusahaan pers,” ujar Ninik.
Ia menilai, regulasi itu juga bertentangan dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Dalam fungsi pengawasan terhadap kerja jurnalistik, itu adalah kewenangan Dewan Pers. Termasuk untuk kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan asing di Indonesia,” tambahnya.
Selain itu, Ninik juga merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing yang telah secara jelas mengatur mekanisme dan kewenangan terkait aktivitas jurnalistik oleh pihak asing.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Dewan Pers dan IMO-Indonesia mendesak agar Perpol Nomor 3 Tahun 2025 segera ditinjau ulang atau bahkan dicabut. Keduanya mengingatkan bahwa segala kebijakan yang menyentuh ranah kebebasan pers harus disusun secara partisipatif, transparan, dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi serta konstitusi negara.
“Ini bukan semata soal aturan, tapi soal prinsip dan masa depan demokrasi kita,” pungkas Yakub. (Edi D/**)