PATI, Patrolihukum.net – Gelombang protes dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) pada Rabu, 13 Agustus 2025, menyisakan luka mendalam bagi sejumlah demonstran. Insiden yang terjadi di sekitar Pendopo Kabupaten Pati itu diduga kuat tidak hanya melibatkan aparat kepolisian, tetapi juga preman bayaran yang disebut-sebut dikirim oleh oknum pejabat daerah. Akibat peristiwa tersebut, tak kurang dari 138 orang menjadi korban kekerasan, dengan salah satunya, Kristoni Duha alias Toni, mengalami luka parah dan bertekad menempuh jalur hukum.
Dalam konferensi pers pada Sabtu (16/8), Toni menuturkan kronologi yang ia alami. Menurutnya, kericuhan bukan berasal dari massa AMPB, melainkan ulah kelompok tertentu yang sengaja memprovokasi. Ironisnya, Toni justru difitnah sebagai provokator. “Saya dituduh sebagai orang luar Jawa yang membuat rusuh. Padahal saya jelas-jelas warga sini,” ungkap Toni dengan wajah penuh lebam.

Toni menceritakan, saat ia bersama temannya, Fajar, mencoba menyelamatkan beberapa demonstran yang ditahan di Pendopo, mereka dapat masuk tanpa hambatan. Namun, setibanya di halaman, sekitar 15 preman langsung menghadang dan berteriak menuding mereka sebagai penyusup. “Saya sudah tunjukkan KTP, tapi tidak digubris. Setelah itu kami dipukuli, lalu aparat datang, bukan melindungi, malah ikut memukul,” tegasnya.
Kekerasan yang dialaminya berlangsung brutal. Toni mengaku dihantam berkali-kali oleh aparat, bahkan diinjak hingga wajahnya tertoreh bekas sepatu. Hidungnya membengkak akibat tendangan, sementara dompet berisi uang sekitar Rp1 juta raib. Dua ponselnya juga disita. “Kami disekap di ruangan sempit dari jam setengah dua siang sampai sore. Baru bisa keluar berkat bantuan keluarga dan kuasa hukum,” tambahnya.
Tim kuasa hukum AMPB, Nimerodin Gulo, menilai tindakan aparat dan keterlibatan preman adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. “Ini bukan lagi sekadar represif, tapi sudah masuk kategori kriminal. Negara seharusnya hadir melindungi rakyat, bukan malah melukai,” katanya. Ia memastikan akan membawa kasus ini ke ranah hukum, termasuk menyiapkan laporan resmi ke Komnas HAM.
Sementara itu, Polresta Pati melalui Kasihumas Ipda Hafid Amin menyatakan pihaknya belum menerima laporan resmi terkait penganiayaan tersebut. Namun, ia menegaskan kepolisian akan membuka ruang penyelidikan. “Kami akan cek kebenaran informasi ini. Kalau memang ada pelanggaran prosedur, tentu akan ditindaklanjuti,” ujarnya singkat.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan pelanggaran hak warga sipil dalam aksi unjuk rasa di daerah. AMPB menegaskan tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban. “Kami menuntut pemerintah pusat turun tangan. Jangan biarkan aparat dan preman menjadi alat intimidasi rakyat,” tegas Nimerodin.
Kini, publik menantikan langkah lanjutan dari aparat penegak hukum, apakah benar-benar berani menuntaskan dugaan kekerasan ini atau justru membiarkannya menguap tanpa kepastian. (Edi D/PRIMA/**)
















