Patrolihukum.net – Polemik mencuat usai pelaksanaan rapat dengar pendapat (RDP) di lingkungan DPRD Kabupaten Probolinggo. Ketua DPRD, Oka Mahendra Jatikusuma, menjadi sorotan publik setelah sejumlah awak media menyampaikan keluhan terkait pembatasan peliputan selama jalannya forum tersebut.
Keluhan muncul dari sejumlah jurnalis yang merasa tidak diberikan akses penuh untuk meliput secara leluasa, khususnya bagi wartawan di luar media internal DPRD. Situasi ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil, terutama dari LSM Aliansi Masyarakat Peduli Probolinggo (AMPP).

Ketua AMPP, Lutfi Hamid, menyatakan keprihatinan mendalam dan melayangkan kritik tajam terhadap dugaan pembatasan tersebut. Ia menilai tindakan itu sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keterbukaan informasi publik.
“Seharusnya DPRD, melalui ketuanya, memberikan ruang seluas-luasnya bagi wartawan maupun LSM untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Anggota dewan juga harus siap menerima kritik dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Jika tidak mau dikritik, sebaiknya mundur saja dari jabatannya,” tegas Lutfi kepada wartawan. Jum’at (30/5/25)
Ia menambahkan, kebebasan pers adalah pilar keempat demokrasi dan merupakan bagian tak terpisahkan dari hak publik untuk mendapatkan informasi. Menurutnya, membatasi ruang gerak wartawan sama artinya dengan membungkam suara rakyat.
“Ini bukan sekadar masalah teknis. Ini bentuk nyata pembungkaman. DPRD bukan milik segelintir elite, tapi milik rakyat. Membatasi wartawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi,” ujarnya.
Lutfi mengutip Pasal 28F UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai dasar konstitusional yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis yang menjalankan tugasnya.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga pelanggaran konstitusi. Pejabat publik yang menghalangi tugas jurnalistik harus diproses secara hukum. Kami dari AMPP tidak akan tinggal diam,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa pembatasan terhadap jurnalis bisa menjadi preseden buruk yang merusak tatanan demokrasi lokal. “Hari ini wartawan dibungkam, besok bisa giliran masyarakat sipil. Ini bahaya,” tandasnya.
Tak hanya soal peliputan, Lutfi juga menyoroti pernyataan Ketua DPRD yang terekam dalam sebuah video. Dalam video tersebut, menurutnya, seolah-olah DPRD memiliki kewenangan mengatur aparat penegak hukum (APH). “Ini narasi yang menyesatkan dan tidak pada tempatnya. DPRD adalah lembaga legislatif, bukan eksekutif atau yudikatif,” imbuh Lutfi.
Menanggapi tudingan tersebut, Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Oka Mahendra Jatikusuma, menyampaikan klarifikasinya melalui pernyataan tertulis. Ia membantah keras adanya pelarangan terhadap pers.
“Kami tidak pernah melarang wartawan. Ruang peliputan sudah kami siapkan. Namun, jika ada yang lalu-lalang di dekat peserta saat diskusi berlangsung, tentu itu bisa mengganggu jalannya rapat,” ujar Oka.
Menurutnya, arahan agar wartawan tidak mondar-mandir selama rapat bukan bentuk pembatasan, melainkan upaya menjaga ketertiban dan konsentrasi dalam forum.
Terkait istilah “media resmi DPRD”, Oka menjelaskan bahwa itu merujuk pada tim Humas DPRD yang bertugas untuk mendokumentasikan kegiatan internal. “Bukan untuk membatasi akses media luar. Kami hanya ingin memastikan suasana rapat tetap kondusif,” tambahnya.
Lebih lanjut, Oka menyebutkan bahwa dokumentasi rapat yang dilakukan oleh tim humas dapat diakses oleh media jika dibutuhkan. Ia menegaskan bahwa DPRD tetap menjunjung prinsip transparansi dan menghargai peran media dalam menginformasikan kebijakan publik.
Peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya dialog terbuka antara pejabat publik dan insan pers, guna menyamakan persepsi tentang batasan profesional dan teknis dalam peliputan forum-forum kebijakan.
Ketegangan antara DPRD dan kalangan jurnalis di Kabupaten Probolinggo ini menjadi cerminan dinamika demokrasi lokal yang memerlukan pendekatan komunikasi yang lebih terbuka dan akomodatif, bukan sebaliknya. Jika tidak ditangani secara bijak, situasi semacam ini dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif daerah. (Edi D/Red/**)













