Patrolihukum.net — Sepuluh bulan setelah dugaan penganiayaan terhadap Suarni, 43 tahun, seorang janda di lereng Gunung Bromo, penanganan perkara ini masih gelap. Laporan korban tidak jelas jejak administrasinya di tingkat kepolisian sektor, sementara terduga pelaku, seorang warga negara asing (WNA), tetap bebas beraktivitas.
Peristiwa yang dialami Suarni terjadi pada Maret 2025 di rumahnya di Dusun Krajan, Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Ia dituduh mencuri uang dan barang milik majikannya, Mr. C, pemilik Villa 88. Tuduhan itu tidak disertai bukti yang disampaikan kepada korban.

Menurut keterangan keluarga dan saksi, saat kejadian Suarni dalam kondisi sakit dan terbaring di kamar. Kedatangan majikannya yang diduga tanpa pemberitahuan berubah menjadi kekerasan fisik. Suarni disebut dipukul, dihantam benda keras seperti asbak dan vas keramik, hingga diinjak saat terjatuh. Kekerasan itu berlangsung di hadapan anak dan cucunya.
Sejumlah saksi, termasuk anak korban, warga sekitar, dan menantunya, telah diperiksa penyidik. Namun hingga kini, tidak ada kejelasan status hukum perkara tersebut.
Laporan Korban Tak Diproses, Justru Diperiksa sebagai Terduga Pencuri
Kejanggalan muncul sejak tahap awal. Suarni mengaku telah melapor ke Polsek Sukapura sesaat setelah kejadian. Namun laporan dugaan penganiayaan itu disebut tidak pernah dibuatkan laporan polisi. Alih-alih diposisikan sebagai korban, Suarni justru dimintai keterangan atas dugaan pencurian yang dilaporkan majikannya.
Tidak adanya laporan resmi berdampak langsung pada hak korban. Suarni tidak mendapatkan surat pengantar visum dari kepolisian. Ketika dibawa ke puskesmas, petugas medis hanya memberikan perawatan luka tanpa visum karena ketiadaan dokumen resmi dari aparat penegak hukum.
Dalam konteks hukum pidana, visum et repertum merupakan alat bukti penting untuk menguatkan dugaan tindak kekerasan. Ketidakhadiran visum sejak awal berpotensi melemahkan posisi korban dalam proses penyidikan.
Laporan ke Polres, Proses Berjalan Lambat
Merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum di tingkat polsek, Suarni melapor ke Polres Probolinggo pada Maret 2025. Dua Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kemudian diterima pelapor.
SP2HP pertama, yang diterbitkan Oktober 2025, menyebutkan salah satu saksi berinisial SRH tidak memenuhi panggilan penyidik. SP2HP kedua, Desember 2025, menyatakan rencana digelarnya gelar perkara.
Namun hingga peringatan Hari Ibu 22 Desember 2025, hasil gelar perkara tersebut belum diketahui publik. Status hukum terduga pelaku pun tidak pernah diumumkan secara terbuka.
WNA Terduga Pelaku Tak Tersentuh Proses Hukum
Fakta lain yang menjadi sorotan adalah posisi terduga pelaku yang merupakan WNA. Hingga kini, tidak ada informasi resmi apakah yang bersangkutan telah diperiksa, dicekal, atau dikenai pembatasan keimigrasian selama proses hukum berlangsung.
Padahal, dalam kasus kekerasan terhadap warga negara Indonesia, status kewarganegaraan pelaku seharusnya tidak menghalangi proses penegakan hukum. Publik mempertanyakan apakah ada perlakuan berbeda dalam penanganan perkara ini.
Respons Kepolisian Minim Penjelasan
Upaya konfirmasi kepada Polres Probolinggo telah dilakukan media. Pihak kepolisian menyampaikan permohonan waktu untuk mengecek ke penyidik karena sedang berada di luar kantor. Hingga lima hari setelah konfirmasi awal, belum ada penjelasan lanjutan terkait perkembangan kasus tersebut.
Ketiadaan informasi ini memperkuat kesan lambannya penanganan perkara, terutama bagi korban yang sejak awal berada pada posisi rentan: perempuan, janda, dan berasal dari wilayah pinggiran.
Hari Ibu Tanpa Keadilan
Bagi Suarni, Hari Ibu tahun ini bukan sekadar peringatan simbolik. Ia masih menunggu kejelasan hukum atas dugaan kekerasan yang dialaminya. Sepuluh bulan berlalu, sementara laporan belum berujung kepastian.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana aparat penegak hukum menjamin hak korban kekerasan, terutama ketika berhadapan dengan pihak yang memiliki kuasa ekonomi dan status kewarganegaraan asing?
Hingga berita ini diterbitkan, nasib perkara Suarni masih berada di ruang tunggu hukum. (Edi D/Bambang/**)














