Patrolihukum.net, Pontianak, Kalbar — Skandal distribusi BBM bersubsidi di Kalimantan Barat kembali memicu kegelisahan masyarakat. Antrean jeriken di SPBU, praktik buka-tutup di luar jam operasional, serta dugaan keterlibatan spekulan yang bermain di balik layar menjadi bukti nyata betapa bobroknya sistem yang seharusnya dikawal ketat oleh pemerintah dan BUMN terkait, termasuk Pertamina.
Namun ironisnya, meski semua SPBU telah terintegrasi dalam sistem pemantauan digital real-time, pelanggaran demi pelanggaran terus berlangsung tanpa tindakan tegas. Fakta ini diungkap langsung oleh Budi, seorang pegawai Ritail Pertamina Pontianak.

“Kami tahu SPBU mana yang buka, mana yang tutup. Semua CCTV terpantau langsung oleh kami,” ujar Budi saat dihubungi awak media melalui sambungan telepon pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Pernyataan tersebut justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Jika seluruh aktivitas SPBU termonitor secara langsung oleh pusat, mengapa masih terjadi antrean jeriken di berbagai titik di Kalbar setiap harinya? Mengapa masih banyak SPBU yang beroperasi di luar jam resmi tanpa sanksi? Dan bagaimana mungkin BBM bersubsidi bisa jatuh ke tangan spekulan?
Saat wartawan mencoba mencari konfirmasi dan klarifikasi ke kantor Pertamina Pontianak, yang terjadi justru perlakuan tidak menyenangkan. Seorang petugas keamanan melarang wartawan bertemu dengan pejabat terkait dan malah melempar mereka ke call center nasional.
“Kami tanya dulu, Bapak mau lapor apa, nanti kami sampaikan,” ucap petugas dengan nada arogan, menutup akses informasi yang seharusnya transparan.
Lebih miris lagi, Budi menyebut bahwa antrean jeriken dianggap sah-sah saja asalkan mengantongi surat rekomendasi dari desa, pemda, atau bahkan BPH Migas. Celah hukum ini yang diduga dimanfaatkan para mafia BBM untuk memperjualbelikan surat-surat tersebut, bukan untuk memenuhi kebutuhan nelayan dan petani yang berhak menerima subsidi.
“Surat rekomendasi bisa dari mana saja. Itu yang menjadi dasar antrean jeriken tetap legal. Tapi siapa yang memastikan surat itu tidak dibeli?” tandas seorang aktivis LSM anti-korupsi di Kalbar.
Fakta ini menunjukkan adanya pembiaran sistemik yang tak hanya merugikan negara, tapi juga menindas rakyat kecil. Warga menilai, jika Pertamina dan aparat penegak hukum (APH) benar-benar bekerja dengan integritas, praktik mafia solar tidak akan berlangsung sebegitu leluasa.
Masyarakat Kalbar pun menyuarakan tuntutan keras:
- Audit total distribusi BBM subsidi oleh lembaga independen
- Publikasi rekaman CCTV SPBU dan pelanggaran operasional
- Sanksi tegas dan terbuka bagi SPBU yang melanggar
- Penegakan hukum terhadap oknum yang terlibat dalam jaringan mafia BBM
Kritik pedas juga datang dari akademisi Universitas Tanjungpura, Dr. Anwar Rasyid, yang menyatakan bahwa ketidakberdayaan pemerintah dan BUMN dalam mengatasi persoalan ini adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
“Ini bukan lagi soal antrean panjang atau jeriken solar. Ini soal keadilan sosial yang dihancurkan oleh kerakusan dan pembiaran sistemik. Jika negara hadir, mafia BBM tidak akan punya ruang bernapas,” tegasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pertamina wilayah Kalimantan Barat maupun BPH Migas. Sementara aparat penegak hukum terlihat enggan bertindak, seolah membiarkan praktik haram ini berlangsung terus-menerus.
Jika tak segera ditindak tegas, publik akan terus menilai bahwa BUMN dan aparat hanya berpura-pura peduli, sementara mafia solar terus menguras hak rakyat di depan mata mereka.
(Edi D/TIM/RED)