JAKARTA ─ Proses penegakan hukum tentunya didasarkan pada crime control model dan due process of law. Hal ini mengandung makna didalam rangkaian penegakan hukum bukan hanya persoalan peristiwa dimaksud sebagai perbuatan yang dapat dipidana dalam bingkai taatbestandel, namun yang harus diperhatikan adalah kualifikasi delik sebagaimana dimaksud dalam weesenchau untuk memproses suatu perkara yang tentunya berimplikasi dalam penanganan perkara yang professional, akuntabel dan fairness.
“Di dalam hukum pidana tidak hanya kualifikasi delik didasarkan pada jenis delik materil dan delik formil, melainkan juga delik murni (gewone delic) dan delik aduan (klacht delic) sebagai syarat untuk dapat atau tidaknya suatu perkara diproses,” ujar Dr. Alpi Sahari SH MHum Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Rabu (2/8/23).
Lebih dalam Ahli Hukum Pidana ini memaparkan,” Jenis-jenis delik didalam rumusan ketentuan hukum pidana merupakan kerangka dasar dalam proses penegakan hukum khususnya penyidik sebagai prime mover dalam bingkai integrated criminal justice system sehingga tindakan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri dalam menanggapi respon masyarakat terkait dugaan Rocky Gerung menghina Presiden Jokowi dengan menyarankan untuk dilakukan pengaduan masyarakat merupakan bentuk profesionalisme yang mendasar pada ketaatan norma hukum, tertib hukum karena norma hukum terkait penghinaan Presiden yang semula merupakan gewonie delic oleh Mahkamah Konstitusi diubah menjadi klacht delic sehingga tindak tepat apabila pelaporan dilakukan oleh pihak lain dengan laporan polisi. Hal ini dikarenakan jenis deliknya sebagai delik aduan yang bersifat absolut.”
Penanganan respon masyarakat terkait dugaan Rocky Gerung menghina Presiden Jokowi yang dilakukan Bareskrim Polri dengan menyarankan untuk dilakukan pengaduan masyarakat merupakan wujud transformasi Polri dalam bidang penegakan hukum yang mengaktualisasikan predektibilitas, responsibilitas dan transparansi yang berkeadilan. “Perlu saya sampaikan bahwa Putusan Nomor 013-022/PUUIV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden yakni Pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, dan Pasal 137 KUHP tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat (inkonstitusional),” terang Alpi.
Mahkamah Konstitusi sambung Alpi menguraikan,”dalam putusan 013- 022/PUU-IV/2006 yang berkenaan dengan Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP, dalam amar putusan tidak menyebut Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP tetapi dalam memberikan pertimbangan ada menyinggung Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP sebagai berikut: Menimbang bahwa oleh karena itu delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310- Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager); Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).”
*Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan*
Article 232 (2) The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdana Menteri akan membuatkan pengaduan atas nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang akan membuat pengaduan atas namanya.
“Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas,” tegas Alpi. (Indra)