Pakar Hukum Nilai Adanya Political Murder dan Tendencious Judicial Mahkamah Konstitusi

Jakarta – Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Firman Wijaya menilai situasi Indonesia terkini sedang dalam prahara konstitusionalitas.

“Hal itu bermula ketika palu godam yang dijatuhkan MKMK pada Selasa, 7 November 2023 dengan hasil dua kali RPH tanggal 3 November 2023 dan 6 November 2023 oleh Jimly Asshidiqqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan R. Saragih, walau tidak berakhir bulat tetapi efek getarnya luar biasa mengguncang jagad peradilan,” ujar Firman di Jakarta, Jumat (10/11).

Firman menilai, putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XX/2023, terkait pengujian materiil Pasal 169 Huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), mengenai persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Di mana putusan tersebut dijamin Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terkait Wewenang dan Kekuasaan MK, tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final dan mengikat, ternyata dapat dilumat oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK),” jelasnya.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) itu lebih lanjut mengatakan, serangkaian tuduhan para Hakim MK terlapor itu diduga melanggar prinsip dan asas penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang tercantum dalam Bab II Pasal 17 Ayat (3), (4), (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengenai conflict of interest hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera dan Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi mengenai prinsip independensi, prinsip integritas, dan prinsip ketidakberpihakan (Sapta Karsa Hutama).

“Tatkala memastikan bagaimana proses hukum bekerja melalui aspek penalaran dan penafsiran, logika hukum dan logika hakim-hakim MK tersebut, semua Hakim MK tersebut dilaporkan. Llima laporan kepada Ketua MK Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Guntur Hamzah. Lima laporan kepada Arif Hidayat, Saldi Isra, Daniel Yusmic, dan Enny Nurbaningsih. Secara skeptis Hakim semestinya dianggap paham Judicial Disqualification atau Recusal yang relevan dengan asas Nemo Judex in Causa Sua karena conflict of interest,” ujarnya.

Terkait kepentingan politik, kata dia, Uji Konstitusionalitas yang dianggap memberi peluang majunya Gibran Rakabuming Raka, sehingga menurut Majelis Kehormatan, para hakim terlapor in casu Ketua MK Anwar Usman dipandang melakukan pelanggaran berat.

“Prinsip impartiality, tak ayal kredibilitas MK dinilai sudah runtuh dengan ungkapan Pelapor “Mega Skandal Pusaran Mahkamah Keluarga”. Independensi dan moralitas lembaga penjaga konstitusi dan demokrasi itu dipandang melakukan pelanggaran etika berat (extra ordinary ethics violation),” bebernya.

Kendati begitu, menurutnya yang jadi persoalannya kemudian ialah Hakim MK Anwar Usman menggangap dirinya tidak dalam posisi memiliki conflict of interest.

“Tradisi semacam itu sudah berjalan sejak Ketua MK yang lalu menjabat, Jimly Asshidiqqie, Mahfud MD, Arif Hidayat. Conflict of interest menurut Anwar Usman juga sebenarnya sangat tampak dalam perpanjangan usia Hakim MK Sadli Isra. Namun terlepas dari itu semua, tampaknya Para Hakim MK itu dipersalahkan terkait “Legal Reasoning” oleh MKMK,” urainya.

“Jika sekiranya tradisi Hakim itu bebas membangun “Legal Reasoning”nya dalam rangka Independency of Judiciary sudah berlansung lama, kemudian dalam perkara No. 90/PUU-XX/2023 kemudian dianggap sebagai Judicial Fallacy (penyimpangan prinsip peradilan in casu MK) maka wajar kemudian toward common sense (bangun rasional) penghukuman Hakim-hakim MK melalui MKMK memiliki tendensi membunuh tradisi Independency of Judiciary itu sendiri. Suatu situasi dalam paradoks dalam berhukum,” pungkas Staf Ahli Hukum Wakil Presiden itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *