*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, yang juga merupakan Dosen Tetap Pascasarjana di berbagai universitas ternama, menerima dukungan dari Persatuan Profesor/Guru Besar Indonesia (PERGUBI) untuk segera menyelesaikan proses menjadi Guru Besar/Profesor sesuai dengan peraturan yang berlaku. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan jumlah profesor di Indonesia masih sangat rendah, dengan hanya sekitar 2,61 persen dari 311.63 dosen aktif di tahun 2023 yang bergelar Profesor/Guru Besar, dibandingkan dengan rata-rata 20 hingga 30 persen di negara lain.
PERGUBI menyebutkan bahwa salah satu penyebab kurangnya jumlah profesor adalah peraturan yang sering berubah-ubah, yang membuat dosen kebingungan dan tidak ada kepastian hukum. Beban administrasi yang tinggi juga mengganggu fokus dosen dalam meningkatkan ilmu dan proses belajar mengajar.

“PERGUBI juga menyampaikan banyak aspirasi lain seputar permasalahan di dunia pendidikan, seperti kewajiban dosen dan mahasiswa S2 serta S3 untuk mempublikasikan artikel di jurnal terindeks Scopus. Ini malah memunculkan moral hazard baru dengan adanya ‘calo jurnal’. Selain itu, mengejar Scopus menghambat pertumbuhan jurnal dalam negeri,” ujar Bamsoet usai menerima PERGUBI di Jakarta, Senin (8/7/24).
Pengurus PERGUBI yang hadir antara lain Penasehat Prof. Bomer Pasaribu, Ketua Umum Prof. Gimbal Dolok Saribu, Sekjen Prof. Arief, Prof. Tumanggor, Prof. Parlagutan Silitonga, Prof. Aji Suratman, dan Prof. Juanda.
Bambang Soesatyo, yang juga merupakan pendiri Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA) dan Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (PADIH UNPAD), menyarankan agar Indonesia mencontoh Australia National University (ANU), di mana penelitian sivitas akademika wajib disubmit ke jurnal yang diterbitkan oleh ANU sendiri. Hal ini akan menumbuhkembangkan jurnal internal kampus menjadi lebih besar.
“Daripada mengejar jurnal terindeks Scopus, lebih baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong kampus untuk memiliki jurnal sendiri. Dengan begitu, kita dapat berdaulat dalam dunia pendidikan dan tidak hanya mengejar Scopus yang mengalirkan uang dosen ke luar negeri,” jelas Bamsoet.
Bamsoet juga menekankan bahwa dalam UU No.12/2012 tentang Perguruan Tinggi dan UU No.11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, tidak ada kewajiban untuk publikasi artikel jurnal harus terindeks Scopus. Menurutnya, penggunaan platform ilmiah daring Science and Technology Index (SINTA) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus dimaksimalkan untuk menumbuhkembangkan jurnal dalam negeri.
“Seharusnya, SINTA inilah yang harus dimaksimalkan untuk menumbuhkembangkan jurnal dalam negeri untuk mempublikasikan artikel para dosen dan mahasiswa,” pungkas Bamsoet. (*)