Patrolihukum.net // Lombok Tengah — Dugaan praktik pembuatan nota atau kwintansi fiktif yang digunakan sebagai bukti pertanggungjawaban Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) di salah satu desa di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mulai terungkap ke publik. Seorang staf desa berinisial MW membongkar adanya dugaan penyimpangan administrasi tersebut dalam sebuah diskusi terbuka yang digelar pada 22 November 2024 lalu.
Dalam pernyataannya, MW mengaku bahwa pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dilakukan oleh oknum bendahara desa. Namun, SPJ tersebut tidak dilengkapi dengan nota belanja yang sebenarnya. Sebaliknya, digunakan nota kosong yang diambil dari toko penyedia barang. Nota-nota ini kemudian ditandatangani dan distempel oleh pihak toko meskipun isinya belum diisi.

“Selain itu, kami disuruh oleh oknum bendahara membawa SPJ dan nota kosong ke toko. Setelah ditandatangani dan distempel, saya tidak tahu siapa yang menulis isi nota tersebut,” ujar MW di hadapan sejumlah peserta diskusi.
Pengakuan MW langsung memicu reaksi keras dari tokoh agama dan tokoh masyarakat (Toga dan Toma) setempat. Mereka berharap agar Aparat Penegak Hukum (APH), seperti kepolisian dan kejaksaan, segera menindaklanjuti informasi ini. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk dukungan nyata terhadap program nasional yang diusung Presiden Prabowo Subianto dalam upaya menyelamatkan keuangan negara, khususnya di sektor desa.
“Kami mendesak agar aparat hukum bergerak cepat untuk mengusut tuntas dugaan ini. Jangan sampai keuangan negara terus-menerus dirugikan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” tegas salah satu tokoh masyarakat yang hadir dalam diskusi.
Sementara itu, Kepala Desa (Kades) yang bersangkutan, berinisial MT, saat dikonfirmasi menyatakan bahwa seluruh laporan keuangan desa, termasuk SPJ penggunaan Dana Desa dan ADD, telah diaudit oleh Inspektorat Kabupaten Lombok Tengah. Menurutnya, dari hasil audit tersebut, tidak ditemukan adanya penyimpangan.
“Sudah diaudit dan tidak ada temuan. Semua sudah clear,” tegas MT saat ditemui wartawan.
Namun, pernyataan ini tidak sepenuhnya meredakan kecurigaan publik, terutama mengingat pengakuan MW yang cukup rinci dan menyebut adanya praktik sistematis dalam pembuatan dokumen fiktif.
Jika benar terjadi, praktik pembuatan kwintansi atau nota fiktif dapat dikenakan sanksi pidana berat. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuat surat palsu atau memalsukan surat dapat dipidana maksimal enam tahun penjara.
Pasal tersebut juga mencakup orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen palsu seolah-olah asli untuk menipu orang lain, yang dalam hal ini bisa merugikan keuangan negara.
Hingga berita ini diturunkan, oknum bendahara desa berinisial MH belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi oleh awak media masih terus dilakukan. Sementara itu, pihak kepolisian maupun kejaksaan belum mengeluarkan pernyataan terkait apakah kasus ini sudah dalam tahap penyelidikan resmi.
Masyarakat berharap kasus ini tidak berhenti pada pengakuan semata, tetapi diusut tuntas demi keadilan dan transparansi pengelolaan dana desa.
(Edi D/tim/**)