Patrolihukum.net // Sukapura, Probolinggo – Komitmen luar biasa ditunjukkan oleh Kepala Desa Ngadisari, Sunaryono, beserta masyarakat Tengger dalam menjaga keselamatan para pengunjung Gunung Bromo. Di tengah meningkatnya angka kecelakaan akibat rem blong sepeda motor matic, masyarakat setempat berinisiatif mengambil peran aktif sebagai garda terdepan keselamatan di jalur wisata Bromo.
Dalam pantauan langsung di lapangan, Kepala Desa Ngadisari, Sunaryono, turun langsung untuk mengantisipasi masuknya sepeda motor matic ke kawasan Bromo. Kepada awak media, Sunaryono menegaskan bahwa keselamatan wisatawan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh elemen masyarakat lokal.

“Sudah terlalu sering terjadi kecelakaan karena rem blong motor matic. Kami sebagai tuan rumah merasa berkewajiban untuk melindungi para tamu yang datang ke kawasan Bromo,” ujar Sunaryono, Minggu (8/6/2025).
Ia menjelaskan, pihak desa bersama pemuda, karang taruna, pramuka, hingga pelopor keselamatan desa telah membentuk gerakan kolaboratif untuk mencegah penggunaan motor matic di jalur curam menuju Bromo. Himbauan telah dilakukan secara masif, baik secara lisan, tertulis, hingga melalui pos penyekatan yang didirikan di sekitar Pendopo Desa Ngadisari.
Di pos ini, wisatawan yang datang dari arah Probolinggo dihentikan dan diberi edukasi mengenai bahaya menggunakan motor matic di jalur tanjakan dan turunan curam khas kawasan Bromo. Selain itu, pengunjung yang tetap bersikeras menggunakan matic diminta menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bertanggung jawab penuh atas risikonya.
“Kami sudah berupaya maksimal menghimbau agar motor matic tidak naik ke Bromo, tetapi tanpa aturan tegas dan dukungan dari dinas terkait, kami kerap kewalahan. Apalagi kalau pengendara merasa pernah lolos sebelumnya, mereka cenderung memaksa,” ucapnya.
Sebagai solusi, warga menyediakan transportasi alternatif yang lebih aman, seperti mobil Jeep dan sepeda kayuh yang bisa disewa dengan harga bervariasi. Untuk menuju Seruni Point, tarif Jeep berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu, sedangkan ke kawasan kawah Bromo antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Masyarakat sepakat untuk terus memusyawarahkan tarif agar tetap terjangkau bagi wisatawan.
“Ini bukan soal bisnis. Kami hanya ingin Bromo tetap aman dan tidak ada lagi korban jiwa. Kalau ada ide yang lebih baik dari upaya kami, tentu kami terbuka untuk kebaikan bersama,” tegas Sunaryono.
Namun, upaya ini belum sepenuhnya sempurna. Wisatawan yang datang dari arah Pasuruan atau Malang, lalu keluar melalui jalur Probolinggo, kerap lolos dari penyekatan. Meski demikian, masyarakat tetap mengambil inisiatif untuk melakukan teguran secara persuasif.
Sunaryono juga menegaskan bahwa usulan pelarangan sepeda motor matic ke kawasan Bromo semestinya segera ditindaklanjuti dengan kebijakan resmi dari pemerintah daerah. Saat ini, masyarakat hanya bisa melakukan himbauan tanpa payung hukum yang kuat.
“Kami di tingkat desa sudah bergerak semampu kami. Tapi untuk langkah yang lebih besar dan menyeluruh, tentu perlu dukungan dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo dan instansi terkait lainnya,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini kawasan Bromo mulai dipadati oleh pengunjung yang hendak melakukan ritual keagamaan, sehingga proses edukasi harus dilakukan lebih hati-hati agar tidak menimbulkan kesan tebang pilih.
“Makanya kami buat sistem surat pernyataan, supaya jelas bahwa kami sudah memberi peringatan. Semua dilakukan demi keselamatan bersama,” tambahnya.
Langkah konkret, kesadaran kolektif, dan kolaborasi warga Desa Ngadisari ini layak diapresiasi sebagai contoh pengelolaan wisata berbasis masyarakat. Di tengah keterbatasan regulasi dan fasilitas, mereka tetap bergerak aktif menjaga keselamatan dan citra Gunung Bromo sebagai salah satu destinasi wisata unggulan nasional.
“Bromo adalah kebanggaan kami. Jangan sampai rusak hanya karena abai terhadap keselamatan. Kami akan terus menjaga dan mengingatkan,” pungkas Sunaryono.
(Bambang/**)